Kematian agaknya nampak begitu menakutkan. Namun bagaimana jadinya bila kematian yang menakutkan itu berdiri di depan mata dan siap menggandeng kita kapan saja untuk meninggalkan dunia ini. Adakah jalan yanglebih indah dalam mengisi waktu menanti detik detik terakhir kita hingga menemui ‘jodoh’ sejati kita yang bernama kematian?
Dalam novel karya Sinta Ridwan, penulis sekaligus odapus-penderita systemic lupus erythematopus atau yang lebih akrab di telinga dengan nama lupus-mencoba menyuguhkan perjuangannya menghadapi ancaman penyakit yang tak kalah mematikan dari HIV/AIDS yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya.

Berperan sebagai ‘aku’ dalam tulisannya yang berjudul Berteman Dengan Kematian: Catatan Gadis Lupus, Sinta menggambarkan dirinya sebagai seorang gadis centil dengan bibir mungil dan berambut kriting yang terlahir dari sebuah keluarga sederhana di kota cirebon 26 tahun silam.
Penulis: Sinta Ridwan•Penerbit: Ombak, 2011•Tebal: 363 halaman
Dia memulai ceritanya dengan flash back masa kecil sejak lahir hingga suatu ketika tanpa sengaja mendapati ibunya tengah berpelukan dengan pria lain yang kerap dia panggil om. Memasuki masa remaja dia adalah seorang yang aktif diberbagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Anggota Amarilis Pramuka, softball, hingga pasukan pengibar bendera di kota cirebon.

Semasa SMP dia terpilih menjadi anggota Amarilis Pramuka angkatan VII hingga tergabung dalam team softball di Cirebon yang menjadikannya sebagai anggota termuda.Namun semenjak dia aktif diberbagai kegitan tersebut tubuhnya juga mulai sakit sakitan.
Di bangku SMU pada tahun 2001 dia terpilih sebagai anggota pasukan pengibar bendera di kota Cirebon selain itu dia masih tetap aktif di team softball kebanggaannya, satcheell peace. Dibalik prestasi yang dia dapatkan di luar rumah, Sinta tak lebih merupakan remaja dengan sifat individualistik yang tinggi sekalipun dia cukup memiliki relasi yang luas.

Dia selalu acuh terhadap keadaan keluarganya. Sifat Sinta pada dasarnya dipengaruhi oleh kondisi keluarganya yang tak lagi harmonis, kaku, dan kerap kali terjadi pertengkaran. Kondisi keluarganya semakin hari semakin berantakan. Dia lagi lagi mendapati ibunya selingkuh, ayahnya sering kali berniat untuk bunuh diri dan membunuh seluruh anggota keluarga.

Bahkan sekali waktu Sinta mendapati ayahnya tengah mencoba membakar diri di kamar. 15 oktober 2001 Sinta harus kehilangan pacar kecil dan sahabat terbaiknya, Siti moe moe, dengan cara yang tak pernah disadari oleh Sinta sebelumnya.

Rentetan kondisi tersebut membuat sifatnya semakin tak terkendali. 14 februari 2005 seolah menjadi babak baru atas pesakitan Sinta, nampak keanehan dalam darahnya saat test darah sebelum dia melakukan donor darah. Seketika dr. Tresna, dokter yang menangani Sinta dibuatnya bingung.
Selanjutnya sinta dibuat untuk memeriksakan darahnya berulang kali mulai dari profesor ahli darah hingga akhirnya dia bertemu dengan dr. Amay di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Dia pun sempat tergantung dengan obat folid acid dan methyl prednisolonsampai suatu ketika memilih untuk ‘memberontak’.
Membaca catatan pribadi ini seolah kita diajak untuk menjelajahi kehidupan Sinta yang tak mudah bagi umumnya masyarakat. Besar dalam lingkungan broken home dan divonis mengidap penyakit yang berlambang kupu-kupu tersebut seolah menyingkat jalan cerita Sinta di masa produktifnya.

Status odapus yang melekat padanya tidak serta merta menjadi alibi untuk bergantung pada orang lain.Bergulat dengan berbagai kondisi batin, Sinta menunjukkan bahwa dia mampu survive dan mewujudkan mimpinya untuk melanjutkan kuliah di program pascasarjana UNPAD.


Sekalipun mengangkat tema yang tak umum dan menyandang predikat best seller beberapa catatan perlu diperhatikan untuk buku ini. Dalam beberapa paragraf awal seolah kita dijejali dengan rentetan deskripsi masa lalu sinta yang terlalu personal untuk diketahui oleh khalayak. Pemilihan kata ganti ‘aku’pun agaknya cukup terasa menyesakkan.