Kematian
tak seburuk yang kita bayangkan. Semuanya terjadi begitu saja bahkan nampak
indah dan menyenangkan. Setidaknya itulah yang akan kita tangkap dalam novel
Kau Memanggilku Malaikat. Arswendo Atmowiloto dalam karyanya kali ini secara
tak langsung melalui tokoh yang diperankan oleh “Aku” akan mengajak kita untuk
memahami keiirian sang malaikat penjemput ajal manusia. Kesan-kesan semacam itu
berhasil ia tanamkan hanya dengan menggunakan bahasa-bahasa sederhana namun
berkesan.
Kisah
itu bermula saat sebagian manusia mendekati detik-detik terakhirnya di dunia.
Dikisahkan bagaimana sang mailakat dengan ramah menyambut masa terakhir seorang
perempuan yang mengalami koma terbaring tak berdaya diatas dipan rumah sakit.
Seorang perempuan baik hati yang menjadi istri bagi suaminya, ibu bagi
anak-anaknya serta sebagia menantunya yang mengabdi dengan setia dan tulus pada
mertuanya. Menjelang kematiannya ia masih saja penasaran dengan keadaan suaminya
yang pernahmenghamili adik menantunya sendiri. Ditempat yang berbeda dalam
waktu bersamaan, Sang malaikat menemui gadis SMP yang mempesona dengan kepala
bersimbah darah tergeletak di balik semak-semak di area pinggiran sawah. Mati
begitu saja karena menolak diperkosa oleh seorang polisi.
Juga
kisah tentang seorang preman pasar yang belakangan diketahui bernama Popon, Pelaku
kriminal yang bisa dibilang ngawur. Premasn pasar yang pernah memaksa Seorang
nenek untuk menelan kalung imitasi dan ditelanjangi begitu saja dengan pedang
berkarat atau juga ketika meminta paksa anting-anting dari seorang bayi dengan
memotong daun telinga si bayi. Berulang kali dia dihajar masyarakat di tempat
yang sama dan berulang kali itu pula dia tak jera. Hingga ketika dibakar
hidup-hidup ia menolak untuk dikasihani. Kepada malaikat pun masih saja ia
melontarkan kata-kata sumpah serapahnya.
Di
tempat lain, malaikat juga menemui seorang pengemudi bus yang membawa rombongan
anak-anak SD untuk berekreasi yang berakhir dengan kecelakaan naas karena
kondisi kendaraan yang tak laik jalan. Sang sopir hingga pasca matinya tak
henti-hentinya menyesali keadaan dan tidak mampu memaafkan dirinya sendiri atas
kecelakaan yang mengakibatkan seluruh penumpang bis meninggal dunia.
Sinyal
kematian yang lain diterima oleh sang malaikat berasal dari ibu rumah tangga
yang frustasi dengan keadaan keluarganya dan mengajak ketiga anaknya sekaligus untuk
segera menemui ‘kedamaian’ dengan zat kimia berbahaya. Diatas ranjang tidur ibu
tersebut menjadi saksi ketiga anaknya meregang nyawa, berkelejotan tak
beraturan dengan mulut penuh buih, dan si ibu pun menyusul ketiganya. Atau juga
seorang wanita yang meninggal karena ledakan bom yang dibawanya. Seorang lelaki
tua yang mengakhiri kehidupannya dengan bahagia diatas tubuh kekasih gelapnya.
Bahkan hingga pada ayam sekalipun.
Semua
tugas penjemputan itu berjalan apa adanya. Tak ada yang berbeda bagi siapa pun
atau dalam proses kematian bagaimana pun. Dalam satu waktu sang malaikat mampu
menemui berbagai orang menjelang kematiannya dalam tempat yang berbeda-beda. Namun
semua itu menjadi lain ketika sang malaikat bertemu dengan seorang anak kecil
bernama Wedhi yang selanjutya di
panggil Di. Anak yang lucu dan cerdas. Dalam percakapannya dengan malaikat ia
mengaku telah mengenal malaikat ketika masih dalam kandungan ibunya. Ketika
saatnya Di telah harus berpisah dengan dunia manusia ia bisa berada dalam
pangkuan kedua orangtuanya bahkan ikut menemani ayah ibunya menghabiskan wedang
jahe di warung Um.
Keberadaan
Di mampu dirasakan oleh orang-orang Di sayangi. Kedua orang tua Di secara tak
langsung berinteraksi dengan Di. Seperti ketika jasad Di yang telah mati
meminta untuk dikenakan longdress
putih lamanya. Begitu juga ketika Di
mengingatkan ayahnya untuk memotongkan kuku yang lalu ibunya menghampiri ayah
Di untuk membantu memotong kuku sambil berkata, “Di yang menyuruh.”
Pada
kesempatan lain, Di juga mengajak malaikat untuk menemui Um, teman dekat ayah
Di yang sudah dianggap sebagai pamanya sendiri. Di menghentikan niatan Um untuk
membunuh istrinya yang kedapatan telanjang dengan pasangan selingkuhannya di
rumahnya sendiri. Di mampu merasakan tanda-tanda kematian bahkan meredamnya.
Malaikat menyadari hal tersebut dan semakin dibuat heran oleh Di.
Walau
pun karya ini mampu diterima oleh masyarakat luas, terdapat beberapa catatan
yang harus diperhatikan oleh pembaca dalam
menyusuri alur cerita di dalamnya. Bagi sebagian pembaca pasti akan
dibuat bertanya-tanya dengan imajinasi penulis. Gambaran proses kematian
mungkin nampak ganjil dan tak seumumnya. Di titik-titik semacam inilah pembaca
dituntut untuk berlaku bijak dalam menyikapi ide penulis. Sayangnya hingga
diakhir cerita siapa sosok Di yang sebenar tak sepenuhnya terjelaskan. Begitu
juga dengan sang malaikat, apakah ia akan tetap menjadi malaikat yang hanya
mampu mengerti tanpa mampu merasakan atau sebaliknya.
Meskipun
begitu tidak ada salahnya kita memahami konsep proses kematian yang ditawarkan
oleh penulis. Setidaknya pengalaman kematian yang diangkat dalam novel ini
menambah khasanah kita mengenai proses kematian. Lebih dari itu, kita tak perlu
lagi menakuti apa itu yang kita sebut kematian. “Bagimu semua kematian sama.” (yct)
Posting Komentar