“Akhirnya!,”
dalam hati kuteriakkan kata itu. Gemetaran tangan ini mengisi dua lembar form
persetujuan pembimbing tugas akhir skripsi. Menyaksikan nama, nim, dan judul
tertulis di buku besar. Perasaaan yang tak karuan beraduk ditempat itu, saat
itu juga. Jumat, 29 juni 2012 menjadi hari yang berkesan.
Agaknya bukan hal yang
perlu dibanggakan jika judul yang diajukan baru ditolak dua kali, aku yakin
pasti masih banyak kakak kelas yang harus mengulang hingga petemuan kelima baru
di-ACC judulnya atau justru hingga kini masih ada kakak kelasku yang lain yang
masih harus berkutat dengan bagaimana menyusun rangkaian kata kata menjadi
judul yang baik, pusing dengan variable apa saja yang mau di angkat, atau juga
bingung treatment mana saja yang
harus dipakai dalam penelitiannya. Sekalipun jumlah pastinya aku tak sepenuhnya
tahu, korban penolakan dari kajur lama pasti di tahun juga masih banyak yang
menumpuk.
Sejatinya tak banyak
hal yang aku harus presentasikan ketika mengajukan judul. Pertemuan pertama aku
dibantai mengenai apa pentingya aku mengangkat faktor demograpfi yang larinya
pada pembandingan antara laki laki dan perempuan. Judul yang aku angkat beliau
nilai sebagai penelitan diskriminatif terhadap gender dan hal itu sudah basi
untuk saat ini. Mental tahan banting yang aku jadikan sebagai variable
independent dianggapnya sebagai kata yang kurang operasional. Kenapa tidak
pakai versi aslinya, hardiness,
nilainya. Jenis penelitian yang semula kuanggap sebagai penelitian korelasional
dikritik beliau. Ia menganggap judul Mental Tahan Banting pada Siswa Sma Negeri
3 Yogyakarta Ditinjau Dari Efikasi Diri Akademik dan Faktor Demografi sebagai
penelitian yang arahnya komparatif. Entahlah.
Di kesempatan kedua,
setelah mendapatkan masukan dari beberapa teman dan diskusi singkat kini ada
sedikit hal yang kurubah dalam judul. Mencoba bermain dengan tiga variable dan
masih dalam arah korelasional. Hasil utama dari pertemuan kali itu cara
pengajuan judulku dianggapnya terlalu pelit. Dari yang aku tangkap, inginya ada
semacam deskripsi singkat mengenai variable yang aku angkat serta dimana titik
singgung dari variable itu. Agaknya Ia tak berminat jika aku menjelaskan judul
itu dengan bahasa verbalku. Satu hal yang pasti
ia menertawakan judul dengan tiga variable yang aku pilih. Judul
Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga, Efikasi Diri Akademik, dan Hardiness
pada siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta ditolak.
Mulai timbul perasaan
enggan setelah sempat dua kali ditolak, berbenturan dengan jadwal ujian dan
mencoba mencari momen yang tepat berselang tiga minggu aku mencoba memberanikan
diri kembali untuk mengkonsultasikan judul versi ketigaku. Sesuai dengan
permintaannya yang lalu selembar kertas dengan isi nama, nim, dan uraian
singkat mengenai setting penelitian
coba kuserahkan padanya. Tak banyak sebenarnya kritik yang terlontar, poin
pertama ia menanyakan mengapa selalu menggunakan kata “pada” dalam judul yang
diangkat tersebut, kedua ia mempertanyakan mengenai caraku dalam mengambil
kutipan pengertian suatu variable, dan terakhir ia menanyakan hubungan dari dua
variable yang aku ajukan tersebut. Tak sepenuhnya sempurna memang judul itu,
terlebih mengapa hanya memilih siswa di SMAN 3 Yogyakarta saja. Hubungan Sosial
Keluarga dengan Efikasi Diri Akademik Siswa dari Kalangan Keluarga Miskin
Sejahtera di SMA Negeri 3 Yogyakarta di terima.
Perasaan Tak Karuan
Diskusi singkat itu
berakhir ketika ia melangkah menuju lemari dan mengambil dua carik kertas serta
sebuah buku folio bergaris. Disodorkannya padaku dua kertas yang berisikan persetujuan
dosen pembimbing. Saat itu pula tepat di urutan ke 071 dituliskannya namaku
beserta judul yang telah di-ACC tersebut dalam buku besar yang memuat judul
judul skripsi.
Perasaan yang beraduk
saat itu, diantara senang dan kaget. Kertas yang kuisi dengan biodataku itu
kutulis dengan tangan gemetar sembari menenangkan diri sendiri. maka jangan
salah jika kertas yang aku tulis itu terkesan berantakan dan sulit terbaca.
Kuingat butuh hingga lebih dari lima menit hanya untuk mengisi biodata singkat
di dua lembar kertas tersebut.
Kutinggalkan ruangan jurusan dan bergegas mengejar sholat dhuha.
Penutup
Bukan cerita yang
mengharu biru memang, hanya saja dari secuil pengalaman itu ada sedikit hal
yang aku pahami bahwa aku tengah belajar mengenai bersabar, dan tentu saja
mengenai indahnya diterima setelah merasakan tidak enaknya ditolak. Seolah saat
itu terasa sangat melegakan, hal yang tentu tidak akan aku rasakan bila dalam
sekali aku mengajukan saat itu juga aku diterima. Kita memang tidak perlu
memahami kebahagiaan dengan merasakan kekecewaan terlebih dahulu. Namun
kekecewaan akan mengajarkan kita mengenai kebahagiaan.
Dari pengalaman itu
pula aku belajar untuk menunggu. Hal yang tentu sebentar lagi akan segera aku
temui ketika harus meluangkan ekstra waktu untuk mengkonsultasikan progres report-ku dalam pengerjaan skripsi. Akan butuh banyak
waktu, lebih banyak dan lebih lama dibandingkan saat saat aku menunggu untuk
bertemu kajur. Aku sedikit mampu memahami bagaimana rasanya harus meluangkan
waktu yang cukup banyak untuk mengkonsultasikan skripsi. Aku juga tergerak
untuk memahami bagaimana tekanan batin dari mahasiswa angkatan lama yang masih
berkutat dengan bimbingan skripsinya yang tak kunjung selesai.
Awal yang baik ini
tentu tidak akan berarti apa pun jika aku gerak lambat paska ini. Butuh kerja
dan semangat yang stabil untuk memulai proyek ini. Masih banyak kajian masalah
dan berbagai referensi yang harus aku kumpulkan. Belum lagi diskusi dengan
beberapa teman, dosen, atau siapa pun yang kuanggap ahli dibidangnya. Target
menyelesaikan skripsi selama 6 bulan dihitung dari sekarang.
Posting Komentar