Headline di Jogjapolitan (20/4) mengenai pemberitaan
tentang aborsi yang kebanyakan pasiennya berasal dari mahasiswi tanpa sadar
menarik perhatian kami untuk mengetahui lebih lanjut serta mengetahui
fakta-fakta apa saja didalamnya.
Aborsi merupakan satu dari sekian banyak akibat yang
dimunculkan dari adanya perilaku seks pra nikah atau yang lebih dikenal dengan
istilah seks bebas. Secara sederhana seks pra nikah dapat dipahami sebagai
suatu hubungan yang yang dilakukan baik secara mandiri (tanpa pihak ke-2)
maupun dengan orang lain baik itu lawan jenis maupun lawan jenis. Tindakan
semacam ini merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan bologis serta ada dorongan
dari rasa keingintahuan yang kerap muncul pada usia remaja.
Perilaku semacam ini merupakan tindakan alamiah dan
mendasar dalam perkembangan manusia. Menilik pada pemberitaan diatas, perilaku
semacam ini turut menimbulkan dampak bagi para pelakunya. Dampak yang kerap
muncul adalah sesuatu yang belum sepenuhnya mampu untuk dipertanggungjawabkan
secara sepenuhnya oleh para pelakunya baik bagi dirinya sendiri maupun
orang-orang yang ada disekitarnya. Disinilah yang menjadi titik permasalahan
klasik dalam setiap masalah seksual pada beberapa dekade terakhir yang menimpa
individu dewasa maupun remaja dimana hal ini adalah mahasiswa.
Perlu diketahui, disamping adanya tindakan aborsi
masih ada sederet dampak lain. Dampak-dampak itu antara lain munculnya
bermacam-macam penyakit menular seksual, isu mengenai kanker serviks uterus
yang saat ini banyak diangkat dalam penyuluhan kesehatan reproduksi, HIV/AIDS
tentunya, serta masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan
sosial.
Sedikit mengingat hasil study yang dilakukan pada
salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta mengenai tingkat keperawan mahasiswi
yang dinilai cukup rendah mengagetkan berbagai pihak. Terlebih pada orang tua
calon mahasiswa/mahasiswi yang hendak
menempatkan para putra putrinya untuk mengenyam pendidikan lajutan setelah SMA
di kota Yogyakrta dan tentu ini menjadi berita buruk yang menimbulkan stigma
negatif bagi kota pendidikan ini. Terlepas pada sample mana yang diambil dan
metode yang dipakai dalam pengukuran tersebut. Ironis memang, tapi itulah yang
dikatakan dari sebuah penelitian dan pemberitaan mengenai praktik aborsi
tersebut seakan mengamini bahwa fenomena perilaku seks di luar nikah dikalangan
mahasiswa memang merupakan tindakan yang marak dilakukan.
Sekalipun perilaku seks merupakan tindakan mendasar
pada setiap makluk hidup dan akibat yang ditimbulkan lebih besar pengaruhnya
pada pelakunya tentu tidak dapat dibenarkan begitu saja. Dibutuhkan suatu
tindakan yang komprehensif dan tentu
saja melibatkan berbagai pihak di dalamnya dan komponen-komponen terkait.
Perguruan tinggi sebagai pihak penyelenggara
pendidikan sedapat mungkin memaksimalkan berbagai peran dalam menentukan
kebijakan-kebijakan yang tidak hanya menonjolkan pada kemampuan kognitif
akademik mahasiswa tetapi juga turut memberikan pemebekalan mengenai pendidikan
yang mengarah pada moralitas. Komitment
itu dapat tercermin dari visi-misi yang juga mengangkat mengenai
pentingnya moralitas. Pada beberapa mata kuliah seperti pendidikan agama dan
pendidikan kewarganeraan sedapat mungkin dilakukan dengan pendekatan
afeksi bukan lagi pada tataran teori.
Disamping itu dibutuhkan pendidikan karakter guna membangun pribadi yang mantap
yang diimplementasikan pada berbagai macam kegiatan kemahasiswaan. Usaha itu
dapat dimulai dari Ketertiban dalam berpakaian secara sopan dan etika pergaulan
di lingkungan universitas.
Bagi masyarakat peran yang dapat dimainkan adalah
bagimana menyediakan tempat kost yang tidak bebas. Tuan rumah bukan hanya
sekedar penyedia tempat tetapi juga berperan layaknya orang tua yang mengayomi
dan mengarahkan. Selain itu tingkat ketertiban di lingkungan juga turut
diperhatikan oleh seluruh warga serta aparat desa terkait.
Tak dapat dipungkiri media dan informasi sangat
memegang peranan yang urgent dan berpengaruh pada segala aspek termasuk
mengenai pemahaman seksualitas. Kemudahan akses terlebih di kota besar bukan
lagi menjadi konsumsi kalangan berpendidikan, bahkan tak jarang akses oleh anak
dengan pemahaman dini mengenai seksualitas membawa pada pemahaman yang salah
dan tak sedikit berujung pada tindakan mencoba. Sekali lagi disinilah
pendidikan sedapat mungkin mampu membentuk pribadi yang mantap yang mampu
memfilter mana yang baik dan buruk.
Bagaimanapun beberapa usaha diatas dijalankan bila
dalam pribadi masing-masing tidak ada usaha untuk mengontrol pergaulan terlebih
dengan lawan jenis yang berujung pada hal yang merugikan tentu sama saja
bohong. Bahkan mungkin perilaku ini tak lagi dapat dicegah. Dibutuhkan kesadaran
mengenai tindakan semacam ini serta tanggung jawab yang menyertainya. Tingginya
angka tindakan aborsi layaknya fenomena gunung es dimana fakta-fakta yang belum
terungkap ke permukaan tentu jauh lebih besar. Tinggi angka itu juga erat
kaitannya dengan perilaku seks pra nikah.
*pernah dimuat di harian jogja-suara mahasiswa
Label: aborsi, mahasiswa, perilaku seksual beresiko
Posting Komentar