Menulis bagi sebagian orang merupakan hal yang begitu sulit untuk dilakukan. Hal tersebut juga tak lepas dari intelegensi dan kecerdasaan pada seseorang, dalam arti bukan seseorang yang dikotomi berdasarkan pada test IQ, tapi lebih pada vokasional dasar pada orang tersebut. Semisal kecerdasan dalam verbal, psikomotorik, berhitung, dan lain sebagainya.

Menulis merupakan tindakan mengungkapkan gagasan, ide, maupun persaan dalam bentuk kata kata yang tercetak. Pernah saya jumpai sebuah ungkapan “verba volant scripta manent,” sesuatu yang terucap akan pudar, sedang yang tertulis akan abadi. Tak ada yang salah dalam ungkapan tersebut, bahkan memang benar adanya tentang gagasan tersebut.

Tapi terlepas dari bentuk-bentuk kecerdasan pada seseorang ataupun pengertian dalam menulis itu sendiri, ada hal yang ingin kami sampaikan dalam tulisan ringkas ini. Seperti yang selama ini selalu saya dengar, tips dalam menulis adalah menulis itu sendiri. Menulis dan terus menulis. saya teringat pada salah satu training penulisan yang pernah saya ikuti semasa SMA dulu, khususnya pada bidang kejurnalistikan atas kerjasama dengan salah satu media masa terkenal di Jawa Timur. Seharian saya mengikuti serangkaian proses bagaimana suatu surat kabar itu berupa awal cerita-cerita yang beredar di masyarakat bisa bertransformasi menjadi lembaran dan sampai di tangan kita. Proses yang saya nilai panjang melelahkan dan panjang hanya dalam hitungan sekian puluh jam.

Yang saya dapati dari pelatihan tersebut setidaknya memunculkan penilaian bahwa jurnalisme adalah dunia yang berat. Dikejar-kejar deadline dan tekanan tinggi, belum lagi menghadapi tuntutan dan komplain dari pemberitaan kita, itu bagi para reporter. Sore harinya editor dituntut mampu menyeimbangkan pemberitaan, potong tambah dalam proses editing dan tentunya punya referensi luas terkait hal-hal yang diberitakan. Selepas itu proses layouting menunggu dan tentunya masih juga dibutuhkan penyesuaian kanan kiri lagi agar terciptanya tampilan yang proporsional.

Tengah malam itu juga percetakan melaksanakan tugasnya, dengan mesin-mesin dan gulungan roll kertas besar. Diluar itu tim ekpedisi, penyalur surat kabar yang telah tercetak dan tertata sedemikian rupa bergerak menuju agen-agen di berbagai daerah. Di agen pun telah bersiap para loper untuk mendistribusikannya ke tangan pembaca. Dan siklus itu terus berulang dan menjadi keseharian hidup mereka.
 Kerjakeras mereka menjadi sangat berarti bagi kita, dari pemberitaan yang mereka sampaikan, pencerahan, pencerdasaan masyarakat. Kesemuanya itu menjadi hal yang mempunyai makna lebih. Setidaknya itulah motivasi bagi kami sebagai biggener writter. Jauh dari kata produtif bila melihat kondisi bagi seorang pemula, tapi setidak ada mimpi yang hendak diraih. Kapabilitas mengungkapkan dalam bentuk tulisan, kreatif, dan tentunya berdaya guna serta mencerahkan dalam integritas.

Kata yang tidak asing lagi di telinga kita, “semua kembali pada diri seseorang masing.” Begitu juga menulis, ajang mengejar reputasikah, komersial dan berdaya jual, pencerahan, atau alasan paling sederahana belajar. Semua itu ada pada main aim (tujuan utama) dan kembali pada masing. Menentukan tujuan dan landasilah tujuan itu kebaikan, meski apa pun tujuan itu. Sedikit menambahkan, hambatan klasik dalam produktivitas menulis  kita selalu mengatasnamakan kesibukan. Sebuah kata-kata dari John Esposito Orang paling sibuk adalah orang yang paling produktif”.