Mengawali tahun 2014 ini terasa sedikit berbeda. Pasalnya setelah melepaskan status sebagai mahasiswa pada agustus lalu, di awal tahun baru ini perlahan tapi pasti berstatus sebagai pegawai profesional.

Bukan hal yang pernah kami bayangkan sebelumnya akan diberikan kesempatan untuk bergabung dengan keluarga besar Jawa Pos sebagai reporter. Berbekal informasi rekrutmen yang diberikan salah seorang rekan dan halaman koran yang menampilkan tawaran wartawan, kami pun menyusun berkas-berkas yang disyaratkan untuk melamar. Di awal desember hasil seleksi berkas itu dimuat di koran dan sekitar 67 orang dinyatakan berhak mengikuti seleksi tahap II tes tulis dan wawancara dengan para stake holder dan redaktur. Seleksi tes tulis berupa mendeskripsikan berbagai peristiwa aktual nasional, ekonomi bisnis, olahraga hingga isu internasional. Selanjutnya disusul wawancara yang menanyakan seputar motivasi, pengalaman, serta wawasan jurnalistik. Sama sekali tidak ada pertanyaan baku saat itu, hampir masing-masing peserta mendapatkan berbagai pertanyaan beragam dan tak sama.

Berselang sehari paska tes tahap II, kami pun mendapat panggilan bahwa dinyatakan lolos dan berhak mengikuti seleksi tahap III berupa psikotes dan wawancara yang dilangsungkan selama dua hari. Nama-nama peserta lolos juga dimuat di koran. Kami pun kembali mempersiapkan diri, khususnya menyiapkan tiket kereta yang tidak mudah didapatkan mendadak. Psikotes hari pertama berjalan mulai dari jam 8 pagi hingga jam 3 sore. Selama itu kami dihadapkan pada berbagai tes psikologi yang berlangsung estafet dan hampir tanpa jeda. Hampir-hampir kejenuhan kami diuji saat itu dan psikotes terakhir ditutup dengan tes Warteg. Berlanjut di hari ke dua, secara bergiliran kami menjalani interview. Dari wawancara ini juga akan diukur minat dan kesiapan kita apakah cukup berkualifikasi untuk menjadi calon wartawan. Sepeti halnya di wawancara tahap II, pertanyaan yang dilontarkan interviewer berbeda-beda untuk tiap orangya. Praktis, selama seminggu dua tahap tes dilalui dan itu juga berarti selama seminggu kami 2 kali pulang pergi surabaya-madiun.

Hampir jeda satu pekan kami menunggu hasil psikotes dan apakah dinyatakan berhak mengikuti tahap IV berupa tes kesehatan. Menjelang tahap ini kami pesimis, salah satu kawan saya tgl 24 telah mendapat panggilan via telepon untuk mengikuti tes kesehatan dan hingga tanggal 24 berakhir kami tak kunjung memperoleh panggilan itu. Saat itu saya berpikir bahwa mungkin jalan saya hanya sampai di sini untuk rekrutmen Jawa Pos. Ternyata keadaan tidak seperti yang kami kira, tanggal 25 jam 11 malam kami baru mendapat panggilan, sehari setelah itu kami pun kembali berangkat ke Surabaya untuk menjalani general chek di salah satu lab di jalan kartini bersama 20 peserta lainya. Cek yang memeriksa hampir seluruh badan itu diantaranya mencakup rontgen, cek urin dan darah, mata, dan fisik.

Keputusan final menjadi hal yang kami tunggu di minggu-minggu terakhir desember. Tak sedikit yang mengatakan jika sudah sampai di tahap cek kesehatan 99% anak itu diterima, kecuali bila terindikasi menggunakan narkoba, alkhohol, atau memiliki penyakit yang kronis dan dianggap akan menggangggu tugasnya kedepan. Menjelang pergantian tahun panggilan itu kembali datang nama para pesrta yang lolos turut diterbitkan di koran, kami dinyatakan lolos.


Dari berbagai tahapan seleksi yang panjang tersebut peserta final yang terjaring 19 orang sebagai calon wartawan Jawa Pos. Terhitung dari tanggal 6 januari para peserta ini wajib mengikuti pendidikan selama seminggu dan diangkat sebagai calon wartawan hingga 6 bulan kedepan yang artinya kami sekaligus telah masuk kerja. Bergabung di koran dengan jaringan terbesar di Indonesia berkah sekaligus tantangan, prestasi menjadi segalanya jika ingin tetap survive. Mengutip statement bagian manajemen HRD perusahaan koran ini, “bukan gaji yang membuat kita bertahan tapi passion kita atas pekerjaan itu.”