Mempertahankan kualitas itu bukan perkara mudah. Apalagi tatkala kualitas itu terus berjalan seiring dengan tradisi yang sudah berumur lebih dari 80 tahun

JALAN Pahlawan sudah beda banget dibandingkan era 1930-an silam. Kawasan yang dulu dinamai Jalan Besar itu dipenuhi deretan tailor. Tak pelak, semasa Belanda berkuasa, para pejabatnya kerap menyambangi Jalan Pahlawan kalau ingin memesan setelan jas.

Di antara ratusan tailor tersebut, ada nama Bie Hin. Ketimbang para rekan sejawatnya, Bie Hin dianugerahi umur panjang. Ia sangat legendaris. Identitasnya sebagai handmade custom tailor pun masih kukuh hingga kini. ’’Mungkin, hanya (Bie Hin) ini yang tersisa,’’ gumam Jeremiyah Jony, generasi ketiga Bie Hin yang sekarang memegang tampuk bisnis keluarga tersebut.

Memasuki gerai Bie Hin Taylor memang bak menelusuri lorong waktu. Berbagai perabot masa lampau terpajang rapi. Sejumlah maneken dengan tiang penyangga tiga kaki berjajar memamerkan setelan jas klasik.

Bagian kanan dan kiri ruang tersebut juga menguarkan aroma jadul. Tumpukan bahan-bahan kain yang didominasi warna gelap berderet berjejalan memenuhi rak dua tingkat. Di sudut lain, ada deretan pakaian yang menggantung. Setelan jas mulai vest, jas dengan beberapa desain, hingga beberapa potong celana menunggu untuk dipilah-pilah.

Jeremiyah yang ditemani anaknya, Abraham Setiawan, yang sekaligus menjadi penerus usaha keluarga itu melanjutkan ceritanya. Katanya, di zaman Belanda, Bie Hin yang ketika itu masih dikelola mendiang Yong Ming Tjong memang jadi jujukan pejabat kolonial. Jeremiyah sendiri tak mampu memastikan level jabatan para pejabat itu. Tapi, setidaknya, mereka dari kalangan pejabat menengah ke atas.

Tidak hanya pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda yang mampir. Di era kemerdekaan hingga Orde Baru, banyak pejabat Jatim atau nasional yang jadi klien Bie Hin. Terlebih, kala itu Bie Hin sudah kondang mengikuti berbagai even peragaan busana di luar negeri.

Jejak itu masih terasa pada sejumlah foto yang tergantung di dinding ruangan tailor tersebut. Misalnya, terlihat mantan Kapolda Jatim Mayjen Pol—kini Irjen Pol—(Purn) Emon Rivai Arganata. Mantan Gubernur Soelarso pun salah satu klien Bie Hin.

Tak hanya tingkat provinsi, pejabat kalangan kabupaten pun ikut mencicipi produk Bie Hin. Misalnya, orang nomor satu di Sidoarjo pada 1985-1990, Bupati Kol Art Soegondo. ”Ada juga Bupati Gresik dan pejabat-pejabat lainnya yang sudah tidak saya ingat namanya,” sambung Jeremiyah.

Bahkan, dulu, karyawan Jawa Pos, kata Jeremiyah, juga pernah memesan 50 setel jas yang akan digunakan ke luar negeri. ’’Wah, tahunnya saya tidak ingat,’’ ungkapnya.

Puluhan tahun bergulir tidak banyak hal yang berubah dari penjahit jadul tersebut. Hal yang hingga kini masih terus dipertahankan adalah patron. Itu adalah pola paten yang bentuknya tak berubah sejak dulu sampai sekarang. Bentuknya adalah lipatan koran serupa potongan setelan celana. ”Ya ini adalah patron. Dari dulu sampai sekarang ini yang tidak berubah,” sambung Abraham, anaknya.

Abraham menjelaskan sebelum potong memotong kain, patron-lah yang pertama kali dibuat. Dia menyebut patron memang sengaja dibuat untuk memastikan presisi potongan kain sebelum disulap menjadi sepotong jas maupun setelan lainnya.

Patron itu memang harus tetap dipertahankan karena setelan individu tiap orang tidak sama. Itulah yang menjadikan tailor tersebut menonjolkan prinsip customized bagi para kliennya.

Selain itu, sebisa mungkin Bie Hin tetap menggunakan metode handmade. Prinsip mereka, selama pengerjaan dengan tangan jauh lebih halus hasilnya bila dibandingkan dengan mesin, maka handmade akan tetap dipertahankan.

Karena itu, harga produk Bie Hin tak pernah ada yang murah. Paling sedikit adalah Rp 3 juta. Yang paling mahal bisa di atas Rp 10 juga.

Pembuatannya memang menggunakan bahan yang telah disediakan tailor. Jenis kain yang ingin dipakai pun dapat dipilih sendiri sesuai keinginan si pemesan. ”Bahan yang dipakai diimpor langsung dari Italia dan beberapa negara fashion lainnya,” imbuh Abraham.

Pria yang baru saja menamatkan studinya tentang men’s wear di Singapura itu juga pernah membuat jas yang sangat spesial. Yang memesan adalah salah satu kerabat pejabat nasional. Harganya Rp 30 juga. Yang membedakan, tentu, bukan cuma harganya. Menurut Abraham, jas itu memang unik karena bahannya adalah serat nanas. Kain tersebut diolah oleh perajin di Pekalongan yang memang kondang dengan batiknya.Kini gerai asli Bie Hin di Jalan Pahlawan sudah sempit. Bisnis keluarga yang dirintis mendiang Yong Kong pada 1928 (secara resmi disebut berdiri pada 1930) itu sudah tersebar di beberapa lokasi.

Abraham selaku penerus usaha keluarga tersebut ke depan berharap bisa melebarkan sayap hingga ke ibu kota. Dengan sentuhan modern Abraham dan pengalaman Jeremiyah yang kaya, duet itu berharap bisa menjawab permintaan fashion modern dengan kreasi yang menjaga kualitas secara turun menurun.