Urban culture memang akan selalu menjadi bagian kehidupan remaja metropolis. Salah satunya adalah wotagei, jenis dance baru dari Jepang. Tak tanggung-tanggung, komunitasnya pun melengkapi aktivitas mereka dengan properti yang diimpor langsung dari Negeri Sakura itu.

PULUHAN remaja bergerak berbarengan di halaman Balai Pemuda, Sabtu malam (8/3). Badan mereka lentur. Kaki bergerak dengan tegak dan mantap. Secara teratur, tangan mereka berputar-putar ke kanan dan kiri. Jika diperhatikan lebih lanjut, gerakan itu terlihat seperti ekor ikan yang sedang dikibas-kibaskan. Mereka menyebut gerakan tersebut sebagai over action dolphin (OAD). Itu adalah salah satu gerakan baku pada wotagei.

Sembari menari, tangan mereka seolah membentuk garis-garis cahaya dalam temaram malam. Ya, sebentuk light stick mereka genggam pada kedua tangan. Para penari itu pun terlihat seperti diselimuti cahaya saat bergerak-gerak.


Itu adalah gambaran aktivitas komunitas wota, sebutan bagi penggemar idol group, terutama yang berasal dari Jepang. Idol group adalah sekumpulan penyanyi yang berusia relatif muda. Mereka bukanlah grup band karena tidak memainkan alat musik. Mereka adalah kumpulan penyanyi. Tetapi, bakat mereka tidak sebatas menyanyi. Beberapa idol group juga pernah membintangi drama Jepang. Contohnya, AKB 48.

Lalu, wotagei merupakan tarian yang mereka lakukan. Wotagei biasanya ditarikan penggemar idol group. Bagi para fans, tarian itu merupakan bentuk pemujaan terhadap idol group kesayangan mereka.

Perkumpulan wota yang cukup lama di Surabaya adalah Hotarutobi. Meski cukup ''senior'', aktivitas mereka sejatinya belum lama-lama banget. Hotarutobi yang digarap Ody Reza Permana bersama beberapa orang kawannya itu mulai bergerak pada medio 2013.

Menurut Ody, mempelajari wotagei memang tak gampang. Sebab, dance yang diadopsi dari kultur urban Jepang tersebut belum banyak dikenal. Apalagi dikuasai.

Ody pun menahbiskan situs YouTube dan sejumlah video soal wotagei sebagai satu-satunya guru. ''Tidak ada buku, apalagi orang, yang bisa mengajari,'' katanya.

Meski begitu, belajar lewat video itu masih susah. Mau tak mau, Ody harus paham satu-dua bahasa Jepang untuk bisa belajar penuh. Untung, ada kawannya yang bisa berbahasa Jepang. Bahkan, mereka juga mengontak orang Jepang langsung meski tak mendalam.

Ody mengatakan, gerakan wotagei dibagi dalam beberapa tahap. Yang paling dasar dan awal adalah OAD. Biasanya OAD dimainkan saat intro lagu. Menjelang masuk refrain, gerakan yang dipakai adalah rosario. Gerakan itu juga memutar-mutar, membentuk pola kalung salib (rosario) yang dimainkan di depan dada.

Tepat pada refrain, gerakan dinamakan waza. Nah, waza itulah yang dikreasikan sendiri oleh masing-masing kelompok wotagei. Artinya, ketika OAD dan rosario punya gerak pakem, waza tidak.

Rasa penasaran untuk menguasai gerakan-gerakan dalam wotagei itu, sebut Ody, bisa terbawa hingga menjelang tidur. "Padahal, sedang tiduran di atas kasur, tangan itu tidak mau diam," ujar pria kelahiran 6 Mei 1995 tersebut.

Awalnya, anggota komunitas itu hanya tiga orang. Semua kawan Ody. Tetapi, lama-kelamaan komunitas tersebut kian berkembang. Komunitas lain pun terus tumbuh. ''Entah itu yang basisnya antarsekolah atau teman main,'' jelas alumnus SMK GIKI tersebut.

Ody memperkirakan, jumlah mereka saat ini lebih dari 50 orang yang tersebar di 10 kelompok di Surabaya. Mereka akan coba disatukan Ody dalam satu wadah bernama Wotagei Surabaya.

Menurut Ody, wotagei memang tarian untuk mendukung idol group. Karena itu, anggotanya pun bukan cuma penggemar AKB 48 atau JKT 48. Para wota tersebut mendukung semua idol group yang beragam di Jepang.

Anggota terbanyak memang pelajar dan mahasiswa. Tetapi, pekerja pun ada. Misalnya, ada yang anggota pemadam kebakaran, ada juga yang guru kendo senior.

Saking gilanya pada wotagei, mereka rela mengimpor stik bercahaya yang biasa disebut cheerlight itu. Orang Jepang menyebutnya ciaraito.

Harga tongkat bercahaya sepanjang sekitar 15 sentimeter itu Rp 250 ribu per batang. Kalau sepasang, harganya Rp 500 ribu. Di negeri aslinya sono, harganya adalah 1.000 yen (Rp 111 ribu).

Karena banyak yang masih awam, komunitas itu pun dipandang aneh. Tak jarang, mereka didatangi petugas keamanan saat berlatih di taman. Mereka ditanya-tanya seputar goyang-goyang aneh tersebut. "Akhirnya kami didata saja," tambahnya.

Hingga kini, memang belum banyak event besar yang diikuti kelompok wotagei. Meski begitu, mereka beberapa kali mendapatkan undangan untuk tampil. Di antaranya, diundang dalam ajang pencarian bakat yang diselenggarakan salah satu provider telepon. Sayangnya, hasil yang diperoleh kurang maksimal. Mereka juga pernah tampil dalam acara car free night.

Kini mereka menyiapkan gathering antarkelompok wotagei se-Jatim. Menurut Ody, kelompok wotagei di Kota Pahlawan ini cukup banyak jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Mereka berharap wotagei mampu hadir sebagai salah satu alternatif kegiatan positif bagi mereka yang menggilai budaya Jepang. Memang, negeri kita sejatinya masih punya berjibun budaya adiluhung yang kalau digali lebih dalam akan bisa jadi aktivitas menyenangkan. Namun, pilihan minat orang memang tak selalu sama. Penggemar wotagei lebih memilih melabuhkan minat mereka ke budaya negeri orang.