Order Hingga Dubai, Workshop Sampai Papua

Jangan remehkan kekuatan ibu-ibu. Tengok saja para perempuan yang tinggal di Babat Jerawat, Benowo. Kiprah warga yang tinggal di pinggiran Surabaya itu mampu bergaung melintasi batas negara.

 
RABU sore (19/2) hujan. Dingin. Tapi, garasi rumah Yenni Wahyu Wulandari terasa hangat dan gayeng. Dua puluh lima perempuan aktivis Kampoeng Pernak-Pernik berkumpul di tempat tersebut. Katanya, garasi itu memang satu-satunya tempat paling nyaman untuk beraktivitas bagi anggota komunitas kreatif tersebut. Sore itu rinai air dari langit tak mampu menghalangi kegiatan tersebut. Tak ada seorang pun perempuan yang absen.

''Hanya Rabu minggu kedua dan keempat kami kumpul,'' ungkap Yenni, ketua RW 8 sekaligus ketua kelompok.

Sembari bicara, tangan Yenni tidak pernah diam. Jemarinya terlihat asyik berkutat dengan jarum dan kain yang dibawanya. Lincah sekali. ''Kalau sudah biasa gini, kadang pandangan nggak melulu fokus,'' ungkapnya. Betul juga. Tak seberapa lama -walau seolah-olah enggak fokus menyulam- tiba-tiba dia sudah bisa menghasilkan gambar.

Kain blacu krem itu perlahan tapi pasti mulai dihiasi pola bunga. Dalam sekejap, tampak daun-daun menghijau pada kain tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, bunga-bunga berwarna kalem juga bermekaran. Indah dan tertata rapi.

Sebagian besar anggota yang hadir juga mendemonstrasikan ''sulapan'' yang sama. Tangan mereka yang lincah bisa menghadirkan pola-pola elok pada kain.

Anggota komunitas tersebut beragam. Ada ibu-ibu paro baya seumuran Yenni. Banyak pula remaja putri karang taruna. Mereka membaur tanpa canggung.

Di antara mereka, tampak Dina Lestiana. Sambil bersila, dia menatap kertas yang lantas dijadikan kanvas sketsa bunga. ''Dari kertas ini, gambar akan dijiplak di atas kain untuk disulam,'' terangnya.

Yenni yang juga pengurus PKK bercerita bahwa Kampoeng Pernak-Pernik tak terbentuk begitu saja secara mudah. ''Untuk modal awal, kami harus utang Rp 4 juta,'' katanya.

Utang yang akhirnya didapat dari koperasi itu memang tak bisa dihindarkan. Usaha yang dirintis bersama para ibu di RW-nya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Utang tersebut tidak hanya untuk membeli bahan. Melainkan juga untuk membeli langsung hasil olah tangan komunitas tersebut.

Anggota komunitas pun bukan para perajin sulam. Sebagian besar ibu rumah tangga itu justru memulai usaha sebagai pembuat aksesori, misalnya pin dan jarum pentul.

Saat komunitas tanpa nama tersebut mulai berjalan, datanglah Tri Rismaharini, wali kota Surabaya. Dialah yang lantas ''membaptis'' komunitas itu sebagai Kampoeng Pernak-Pernik. Sejak kunjungan tersebut, Yenni dan anggota komunitas kian fokus sebagai perajin sulam pita, bukan lagi pin dan jarum pentul hias.

Ganti nama itu terbukti mendatangkan rezeki. Berbagai tawaran pameran datang bergiliran. Hingga akhirnya, karya mereka tercium Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Surabaya. Kampoeng Pernak-Pernik diundang berpameran di Puspa Agro pada September 2011.

Karya tangan sulam pita yang kemudian berbentuk tempat tisu, sarung bantal, maupun tudung saji mengantarkan mereka berpameran pada ajang bergengsi internasional. Tujuh bulan setelah perhelatan di Puspa Agro itu, datang undangan dari International Handicraft Trade Fair (Inacraft).

Tentu undangan itu bikin kaget. Sebab, mereka masih merasa sebagai komunitas anyar yang belum banyak kiprah. "Tempat pameran di Jakarta Convention Center (JCC) pun guedheee... Saking luasnya tempat acara, saya bingung cari pintu keluar,'' timpal seorang anggota. Rekan-rekannya menyahut dengan tawa berderai.

Prestasi Kampoeng Pernak-Pernik bukan cuma itu. Bersama komunitasnya, Yenni berhasil menyabet jawara pada ajang Pahlawan Ekonomi 2012. ''Dapat kategori Best of the Best,'' ujarnya. Berkat event tersebut, komunitas itu mendapat hadiah Rp 30 juta. Tidak semuanya cash.

Gaung Kampoeng Pernak-Pernik akhirnya juga membubung jauh keluar dari Benowo. Suatu saat, ketika Yenni sedang sibuk memilih pita yang akan disulam, dirinya kedatangan tamu perempuan. Aksennya jelas bukan orang Jawa. Khas Indonesia Timur. Tak sekadar melihat-lihat, tamu itu meminta Yenni beserta komunitasnya mengadakan pelatihan ke Papua Barat.

Yenni baru ngeh bahwa tamu perempuan itu orang penting tatkala bertemu dengan ajudan perempuan tersebut di luar rumah. ''Ternyata, dia istri gubernur Papua Barat. Kalau asistennya tidak bilang, saya juga nggak tahu,'' kisahnya.

Hingga sekarang, dia belum menjawab tawaran itu. Sebab, Yenni dan anggota komunitas lain tidak bisa jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang lama. "Padahal, akomodasinya sudah ditanggung semua. Kalau mau, tinggal berangkat," ucapnya.

Kini dia bersama kelompoknya tengah sibuk menyelesaikan order ke Dubai dan Pakistan. Pesanan seperti itu, bagi Yenni, bukan hal baru. Selain melayani permintaan pelanggan dari berbagai daerah melalui online shop, dia kerap mendapat order dari istri-istri pejabat lain. "Kemarin-kemarin dapat pesanan dari bupati Jombang dan Nganjuk," jelasnya.

Yenni berharap Kampoeng Pernak-Pernik bisa membuat ibu-ibu di wilayahnya berkarya. "Minimal dengan kegiatan ini, tak perlu lagi minta uang dandan ke suami," ucapnya sembari tersenyum.

Salah seorang anggota komunitas itu juga mengatakan bahwa sulam-menyulam tersebut bisa membantu finansial keluarga. Beberapa orang bahkan bisa membeli kendaraan bermotor.

Yenni berharap komunitas tersebut bisa memunculkan komunitas kreatif lain di kampungnya. Dengan begitu, karya kerajinan tangan di lingkungannya itu semakin beragam dan kaya. "Bagi kami, itu bukan saingan," ujarnya